Jendela dimana-mana

''Buku adalah jendela dunia, Nak,'' kata ayahku.
Sejak mendengar kata-kata itu aku selalu merasa aneh. Aku melihat jendela di tas anak-anak sekolah, berjajar di rak perpustakaan, dan di toko buku yang aku kunjungi. Macam-macam warna dan tulisannya. Berbentuk kotak dan mudah dibuka sebab tak pernah dikunci. Setiap jendela menyembunyikan dunianya masing-masing untuk dibuka.
Sore itu, aku menyempatkan diri berkunjung ke perpustakaan. Aku mengambil satu jendela dari rak tempatnya yang bertuliskan ''pemikiran''. Begitu aku buka, nampak orang-orang saling lempar pikiran. Beberapa mencairkan lalu mereka tuangkan hingga menjadi samudra. Aku iseng-iseng saja masuk. Mereguk sedikit saja. Semakin lama menyelamiya, tenggelam, terkatung-katung sampai sulit menemukan tempat memijakkan kaki. Namun syukurlah, aku bisa keluar dan pulang meski seluruh tubuh dan pakaianku basah kuyup.
Hari berikutnya di meja ruang depan tergeletak jendela bertuliskan ''novel''. Begitu aku membukanya, suasana di dalam sangat mengerikan. Sepanjang jalan kota penuh mayat-mayat tak terurus. Darah tercecer di mana-mana. Dan wanita itu, yang menolak aku tolong.
''Jangan masuk, kau tak akan bisa keluar !'' teriaknya.
Semenjak saat itu aku semakin penasaran dengan jendela-jendela lain. Berbagai cara aku tempuh untuk memilikinya. Meminjam, membeli, bahkan pernah mencuri meski yang terakhir gagal. Kini rumahku memiliki ratusan jendela yang aku simpan di kamar. Dengan warna, tulisan, dan menyimpan dunianya masing-masing. Sering aku mengajak salah satu dari mereka menemaniku duduk-duduk di kursi taman, atau sekadar ngopi di kafe-kafe. Orang-orang yang melihat selalu saja menggunjingku.
''Dia selalu bersama kekasihnya,'' bisik mereka.
Ya, aku memang selalu bersama kekasihku, jendela-jendela itu, buku-buku itu. Aku cinta mereka. ()


 Tulisan asli dari catatan
Previous
Next Post »
Thanks for your comment